Dionanda #8 : Undangan Makan Malam

“Papa Jojon!!” Lira berlari menyambut Dion ketika pria itu masuk ke gerbang TK keponakannya.

Wajah Dion merengut. Ia tidak suka jika keponakannya itu memanggilnya dengan sebutan “Papa”. Menurut Dion, kesannya dia sudah tua karena sudah punya anak sebesar Lira. Tapi Dion tidak tega memarahi Lira jika gadis mungil itu menjawab “Khan Lira jarang ketemu Papa… jadi om, papa Lira yang kedua ”

Dion memang harus memaklumi. Rama, Ayah Lira memang orang tersibuk. Rama adalah salah satu dokter bedah jantung yang bertangan dingin di Jakarta. Pasien-pasiennya puluhan dan ia menjadi dokter spesialis jantung termuda yang banyak direkomendasikan orang-orang.

Rama jarang pulang ke rumah, meskipun itu sabtu ataupun minggu. Ia sering pergi ke luar negeri karena diminta bantuannya untuk menjadi tim operasi di sana. Tapi begitu ia sampai di rumah, Rama tidak pernah melupakan untuk memanjakan anak pertamanya itu.

Dion berjongkok dan memandang kesal gadis mungil itu. Ia mengacak-acak rambut Lira dan menarik hidung keponakannya itu. “Lira, sudah dibilangin jangan panggil om seperti itu kalau lagi di sekolah”

Lira menyeringai dan menujukkan giginya yang ompong.

“Biarin!! Wek!” Lira menjulurkan lidah kecilnya.

Dion menarik hidung Lira lebih keras. Lira meringis kesakitan dan memukul tangan Dion untuk melepaskannya dari hidungnya. Setelah Dion lepaskan, Lira malah memukul pundak omnya itu dengan sekuat tenaga. Dion mengelus-elus pundaknya, tidak menyangka seorang balita sanggup memukulnya sangat keras.

“Om… om… Lira sudah tanya sama Miss Wina lho” bisik Lira

“Tanya apa?”

“Tanya apa Miss Wina mau jadi pacar om”

Dion kaget mendengar ocehan Lira. Ia tidak habis pikir kenapa anak berusia 5 tahun bisa berpikir seperti itu. Dion cemas, bisa-bisa gurunya Lira itu berpikiran bahwa dia memanfaatkan Lira untuk mendekatinya.

“Kamu ini… disuruh sama Bunda ya bertanya seperti itu?” ucap Dion penuh selidik

“Nggak. Bunda ga suruh Lira” gelengnya “Lira seneng kalo Miss Wina bisa sama om. Lalu Lira bisa sering ketemu Miss Wina”

“Bukannya sudah ketemu setiap hari di sekolah?”

“Tapi sabtu minggu kan nggak ketemu. Trus, kalo nanti Lira masuk SD, udah nggak bisa ketemu Miss Wina lagi deh” ucap Lira sedih dan kepalanya menunduk lemas.

Lalu tiba-tiba ekspresi Lira berubah. Lira mendongak keatas menatap Dion lekat-lekat dan matanya berbinar-binar.

“Miss Wina mau lho jadi pacar om. Jadi Om mau ya…” rengeknya sambil menarik-narik lengan kemeja Dion

Dion mengambil nafas panjang. Tidak mengherankan gurunya itu akan mengiyakan semua ucapan Lira. Lira akan terus menerus merengek dan memaksakan kehendaknya, sebelum mendengar kata YA. Dion tidak menjawab pertanyaan Lira dan bangkit berdiri tidak mempedulikan teriakan keponakannya.

Tiba-tiba Lira berada di belakang Dion dan dengan sekuat tenaga mendorong Dion untuk berjalan maju.

“Hei… hei… kenapa dorong-dorong om?”

“Pokokknya jalan!!” perintah Lira sambil tetap mendorong. Tenaga Lira cukup kuat sehingga dapat membuat langkah Dion bergeser.

“Iya… iya om jalan. Tidak usah dorong-dorong pantat om dong. Nanti klo tidak sengaja om kentut gimana?” goda Dion sambil tersenyum nakal memandang Lira.

Lira menoleh keatas memandang Dion marah. Lira memukul pantat Dion dengan keras. “Om jelek!”

Lira memegang tangan Dion dan menariknya. Dion dengan pasrah mengikuti langkah ponakannya itu. Seperti yang Dion duga, Lira menariknya untuk bertemu dengan guru kesayangannya.

Nanda tersenyum lebar menyambut Dion dan Lira ketika mereka memasuki kelas Lira yang sudah kosong. Lira berlari menuju gurunya. Wanita itu menunduk untuk mendengarkan Lira.

“Miss… miss… Mau tidak Miss makan malam di rumah Lira?”

Nafas Dion tercekat mendengar pertanyaan polos Lira. Dion menelan ludah.

“Yang uti masak enak lho hari ini” celoteh Lira lagi

Nanda menoleh menatap Dion. Tersenyum. Dion membalas senyuman itu dengan kaku.

“Oya? Masak apa?” tanya Nanda ke Lira.

“Pokokknya dijamin enak deh, miss” Lira menunjukkan 2 jempolnya.

“Bagaimana ya…” pikir Nanda.

“Nanti akan saya antarkan pulang” tiba-tiba Dion spontan berkata. Dion tidak sadar kenapa dia bisa mengeluarkan kata-kata itu.

Nanda kaget menatap Dion. Nanda menatap mata Dion beberapa saat memastikan apa dia tidak salah dengar.

“Tuh khan, miss. Om Jojon mau nganterin Miss pulang” Lira menarik-narik pelan baju gurunya itu. “Mau ya…” rengek Lira

Nanda menarik nafas panjang dan menatap Lira. “Baiklah…”ucapnya setuju.

Lira langsung berloncatan dan mengatakan hore.

“Sekarang Miss membereskan barang-barang Miss dulu ya” Nanda berkata kepada Lira.

Nanda berjalan menuju mejanya. Tak lama, dia sudah siap dan Lira memegang tangan Nanda. Mereka berjalan menuju tempat dimana Dion memarkirkan mobilnya.

***

Nanda berusaha mengatur nafasnya. Ia tidak mau terlihat gugup, grogi ataupun salting. Ia melirik sosok yang ada disebelahnya. Nanda tersenyum geli mengingat saat-saat dimana ia mengagumi Dion. .

Siapa yang tidak mengagumi seorang cowok yang lulus dari SMAnya dengan nilai NEM yang cukup tinggi, namanya masuk peringkat 50 besar siswa pintar se DKI Jakarta, berpenampilan lumayan keren dan berasal dari kalangan orang yang berada. Namanya juga ABG, saat itu Nanda sangat mengaguminya. Bahkan cenderung mengidolakan Dion.

Nanda mengingat saat pertama kali ia berkenalan dengan Dion. Saat itu umur Nanda 14 tahun. Kakaknya, Daud mengajaknya ke Ancol untuk bertemu kepada pacarnya, yang Daud yakini sebagai calon istrinya saat itu. Hal itu membuat Nanda bersemangat, karena dia menjadi orang pertama yang diberi tahu oleh kakaknya. Sampai di Ancol, ia pertama kali bertemu Dian dan Dion.

Saat pertama melihatnya, Nanda tidak terlalu menyukainya. Postur tubuh Dion sangat tinggi, kira-kira 180m dan kurus, sehingga tampak seperti tiang listrik. Wajahnya penuh jerawat, memakai kacamata dengan bingkai minus tebal dan memakai kawat gigi. Saat itu beghel belum ngetren seperti saat ini.

Selama kakaknya berpacaran dengan Dian, Nanda pernah bertemu dengan Dion beberapa kali. Nanda melihat tahap-tahap perubahan Dion dari cowok kutu buku menjadi cowok keren. Nanda merasa, mungkin itu awalnya ia mulai mengagumi Dion. Setelah Daud dan Dian putus, Nanda tidak pernah bertemu lagi dengan Dion, sampai Nanda masuk kuliah.

Dion menjadi ketua senat di universitas negeri yang Nanda masuki dengan susah payah belajar mati-matian, agar bisa lulus UMPTN. Selain sebagai ketua senat yang dihormati semua orang di universitas itu, Dion juga dikenal sebagai salah satu mahasiswa berprestasi. Rasa kagum Nanda semakin bertambah saat itu.

Dan secara tidak sengaja, Nanda mengetahui rahasia kecil Dion. Yaitu perasaan Dion kepada Wulan, sahabatnya, yang ternyata menolak Dion mentah-mentah. Tidak ada orang yang tahu jika Dion sangat tergila-gila dengan Wulan, kecuali Nanda.

“Lira sudah tidur?” pertanyaan Dion memecahkan lamunan Nanda.

Nanda menoleh kearah Lira yang duduk tertidur di jok belakang. “Iya”

Nanda tersenyum melihat gadis mungil itu tertidur dengan pulas. Lira mengingatkannya ketika dirinya masih kecil. Nanda merindukan masa-masa itu, masa dimana keluarganya masih utuh dan ia tidak sendirian di dunia ini.

Nanda berbalik dan menatap jalan raya lagi. Suasana mobil yang hanya diiringi oleh suara lembut instrumentalia piano membuat Nanda merasakan detak jantungnya yang bertambah cepat.

“Maaf…” ucap Dion memecahkan keheningan

Nanda menoleh kaget dan melihat Dion masih konsentrasi melihat jalan raya.

“Ya?” tanya Nanda tidak mengerti

“Maaf atas semuanya” jawabnya kemudian “Maaf, ketika di resepsinya Wulan waktu itu saya menyakiti anda”

Nanda tersenyum getir mengingat kejadian itu. Refleks ia memegang lengan kirinya yang dicengkram Dion.

“Maaf juga atas tingkah laku Lira yang memaksa anda makan malam di rumah kami” Dion masih tetap melihat jalan dan tidak menoleh sedikit pun menatap Nanda.

“Tidak apa-apa. Saya sudah sering diajak makan oleh keluarga murid” jawab Nanda berbohong.

Nanda tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya ia sangat senang dapat diundang makan di keluarganya Dion. Meskipun Dion tidak akan mengantarnya pulang, Nanda ingin sekali bertemu Dian.

Begitu sampai di rumah keluarga Dion, Nanda membantu membukakan pintu rumah untuk Dion yang menggendong Lira yang masih lelap tertidur. Sekilas Dion mengatakan terima kasih kepada Nanda. Dion meninggalkan Nanda berdiri di ruang tamu rumahnya.

Rumah itu tertata rapih. Banyak pajangan berupa penggalan dari surat-surat Al-Quran. Nanda merasa seperti kembali kerumahnya yang dulu.

“Nanda?” sebuah suara memecahkan lamunan Nanda mengagumi rumah ini. Nanda berbalik dan menemukan Dian dengan perut yang semakin membesar.

Nanda memeluk Dian dengan hangat. Lama mereka berpelukan hingga mereka tidak sadar jika Dion sudah berdiri di belakang Dian dengan tatapan bertanya-tanya.

“Bagaimana kabar kakak sekarang?” tanya Nanda setelah melepaskan pelukannya.

Dian mengelus-elus perutnya “Mau siap-siap meledak”

Nanda tertawa renyah mendengarnya. Nanda sempatkan melirik Dion yang tetap berdiri mematung melihat keakraban dirinya dengan Dian. Tak lama seorang wanita setengah baya muncul dari dalam rumah dan menyambut Nanda dengan hangat. Wanita itu langsung mencium kedua belah pipi Nanda. Wanita itu adalah Maya, Ibu dari Dian dan Dion. Wajah Maya masih terlihat cantik di usianya yang mencapai 60 tahunan.

“Kamu berubah banyak, sayang” puji Maya.

Nanda tersipu malu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali dipanggil sayang oleh seseorang. Sambutan hangat dari Maya mengingatkan dirinya kepada Ibunya.

“Terima kasih, tante. Tante juga masih cantik seperti dulu” ucap Nanda tulus.

“Terima kasih, sayang”

Maya mengajak Nanda ke ruang keluarga dan mengatakan agar Nanda menganggap rumah itu rumahnya sendiri. Nanda sangat bahagia mendengarnya. Nanda langsung merasa betah berada di rumah itu. Ia seperti menemukan kembali keluarganya yang hilang, Ibu dan seorang kakak perempuan yang tidak pernah ia punya. Nanda ingin merasakan menjadi bagian dari keluarga ini.

Nanda tidak sadar bahwa ada seorang pria yang menatapnya dingin, Dion.

‘who the is this woman? why everyone seems know her?’ pikir Dion

***

As_3d

Menurutmu cerita ini bagaimana?